Di tengah terbukanya arus globalisasi dan informasi, hingga menjadi ''marak"nya peserta didik kita dalam mengidolakan para artis, sampai2 mengabaikan konsentrasi belajarnya yg lebih pokok. Dari tahun ke tahun kualitas peserta didik semakin turun baik dari segi kualitas maupun identitasya sbg pelajar. Berbagai diskursus tentang dunia pendidikan pun banyak sudah digelar, tetapi perubahan karakter siswa maupun pendidiknya tidak ada perbaikan yang signifikan. Baik juga untuk kita urun rembug mendiskusikan tentang dunia pendidikan dinegeri kita ini agar lebih baik lagi. Yang menjadi pertanyaan dimanakan letak kesalahannya, sistem pendidikankah, murid atau guru sbg pendidik ?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, tentu tidak lepas dari sejauhmana seorang guru dapat memahami perannya sebagai seorang guru agar dikatakan menjadi guru yang berhasil atau berprestasi? baiknya kita telaah narasi di bawah ini.
Perempuan, guru, Bu Mus, dengan asyiknya berbincang dengan para siswa yang hanya berjumlah 12 anak, meskipun gedung mau ambruk, lantai kusam, dan dinding bolong-bolong. Keasyikan seorang ibu guru yang berbayar rendah itu berjalan mulus karena sesuai dengan titik sentuh murid-muridnya. Pada akhirnya keduabelas murid itu melangkah untuk menjalani perkembangan diri sesuai dengan karakteristik masing-masing. Ketika besar, anak-anak itu menjadi orang. Apakah Bu Mus yang telah membingkai keduabelas anak itu disebut guru berprestasi?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, tentu tidak lepas dari sejauhmana seorang guru dapat memahami perannya sebagai seorang guru agar dikatakan menjadi guru yang berhasil atau berprestasi? baiknya kita telaah narasi di bawah ini.
Perempuan, guru, Bu Mus, dengan asyiknya berbincang dengan para siswa yang hanya berjumlah 12 anak, meskipun gedung mau ambruk, lantai kusam, dan dinding bolong-bolong. Keasyikan seorang ibu guru yang berbayar rendah itu berjalan mulus karena sesuai dengan titik sentuh murid-muridnya. Pada akhirnya keduabelas murid itu melangkah untuk menjalani perkembangan diri sesuai dengan karakteristik masing-masing. Ketika besar, anak-anak itu menjadi orang. Apakah Bu Mus yang telah membingkai keduabelas anak itu disebut guru berprestasi?
Kemudian, Pak Fredy seorang guru
yang energis, sering ikut pelatihan, akrab dengan internet, dan dikenal
pimpinan, selalu memenangi beberapa perlombaan untuk guru. Murid-muridnya
senang akan kessuksesan Pak Fredy. Namun, dari 40 murid, hanya lima murid yang
kelak mampu menemukan jati dirinya, sedangkan yang lainnya sampai tua masih
mencari-cari jati diri. Hal itu terjadi karena Pak Fredy lebih mengutamakan
kemajuan anak-anak tertentu asalkan materi pembelajaran dapat terlaksanakan
sesuai kurikulum. Apakah Pak Fredy dapat disebut guru berprestasi?
Lain lagi dengan Pak Toyo, tidak
pernah kenal internet, buta dengan lomba, dan penampilan biasa-biasa saja,
namun dia mengenali muridnya satu demi satu sehingga mampu menentukan menu
pembelajaran yang sesuai dengan masing-masing anak. Pak Toyo selalu datang ke
sekolah tepat waktu, menyapa anak, dan melihat materi yang akan diajarkan.
Kebiasaaan itu menjadi warna sehari-hari Pak Toyo. Murid-muridnya mampu menembus
jati diri masing-masing sehingga berkembang sampai pada tingkat pendidikan yang
tertinggi dan mendulang pekerjaan sesuai dengan karakternya. Apakah Pak Toyo
disebut guru berprestasi?
Sebenarnya, kita sangat susah
menentukan apakah guru itu berprestasi atau bukan sebelum mengetahui apa yang
dimaksud dengan berprestasi. Kalau guru prestasi diukur melalui keberhasilan
anak menemukan jati dirinya, Ibu Mus dan Pak Toyolah yang disebut berprestasi.
Namun, jika berprestasi dimaknai sebagai sering menang lomba, jago internet,
dan dekat dengan pimpinan, Pak Fredylah yang jadi guru berprestasi. Kalau kedua
orang itu dikatakan sebagi guru yang berprestasi, guru lain yang jumlahnya
mungkin ribuan bahkan jutaan di Indonesia yang tidak akan seperti kedua guru
dapat dikatakan tidak berprestasi. Artinya, saya dan pembaca yang lain pernah
dan bahkan selalu diajar oleh guru yang tidak berprestasi.
Bagian II
Kata berprestasi mengarah pada
keunggulan, keberhasilan, dan kepuncakan sesuatu. Kalau memang demikian
artinya, sangat susah untuk menentukan apakah seorang guru itu berprestasi atau
bukan. Prestasi sebenarnya merupakan perwujudan makna kesadaran penuh
seseorang. Seseorang mecuci piring lalu piring itu bersih bukan sebuah
prestasi, tetapi seorang mencuci piring mencoba untuk lebih sadar dalam mencuci
piring, lebih menyadari gerakan tangannya dan menyadari perbuatannya demi
kesehatan orang lain justru itulah yang lebih dapat dikatakan berprestasi.
Begitu pula guru yang mengajar lalu nilai anak itu tinggi bukanlah sebuah
prestasi. Namun, guru yang mengajar sehingga nilai anak itu tinggi kemudian
merasakan kesadaran penuh proses mengajarnya, sadar akan perubahan yang terjadi
dalam diri muridnya, dan sadar bahwa nilai tinggi itu memberikan motivasi bagi
anak untuk berjuang lagi dapat dikatakan sebuah prestasi.
Oleh karena itu, siapapun guru
itu perlu untuk mencoba mengambil peran aktif dalam membangkitkan kesadaran
dirinya. Pada akhirnya, kesadaran sebagai seorang guru menjadi dasar dari
segalanya, termasuk semua tindakan, semua pikiran, dan semua perasaannya.
Seorang master dari Tibet (dalam Zen Meditation, 2004:110), berkata bahwa
menggabungkan kesadaran dan tindakan seperti mencampur minyak dengan air,
seperti mencoba keluar dari kulit kita sendiri. Oleh karena itu, guru berprestasi
tidak perlu mencampurkan antara kesadaran tindakan, pikiran, dan perasaan namun
cukup menyinergikan ketiga aspek itu. Guru yang mempunyai kesadaran penuh dapat
dikatakan telah masuk pada wilayah kebenaran sebuah pembelajaran. Jadi, guru
berprestasi adalah mereka yang berada dalam sebuah kebenaran.
Kebenaran tentang hubungan dengan
murid, kebenaran dalam penggunaan media, kebenaran memilih materi, kebenaran
memainkan metode, kebenaran sebagai seorang guru, dan kebenaran tentang
jembatan sebuah kehidupan merupakan dasar yang harus dimiliki oleh seorang
guru. Ibu Atik, yang sadar bahwa dalam pemahaman sebuah konsep ilmu, anak
memerlukan sarana untuk masuk dalam titik sentuhnya. Ibu Atik dapat dikatakan
telah mempunyai pemahaman pada sebuah kebenaran media. Pak Giran, yang sadar
bahwa kedekatannya dengan murid menumbuhkan kekuatan cinta dapat dikatakan
sebagai seseorang yang menjalankan kebenaran berhubungan dengan muridnya. Pak
Mukhson, yang sadar tidak semua materi cocok dengan muridnya kecuali materi
yang telah diseleksi dapat dikatakan sebuah telah memahami kebenaran dalam
pemilihan materi. Begitu pula seterusnya, guru membangun kebenaran sejati untuk
masuk dalam ruang pendidikan yang sebenarnya.
Dari uraian di atas, dapat
dikatakan berprestasi merupakan wujud dari sebuah pencapaian kebenaran. Guru
berprestasi adalah guru yang berada dalam roh kebenaran sejati yang sadar akan
citra diri berdasarkan ketulusan dan keikhkasan. Sebaliknya, guru yang tidak
berprestasi adalah guru yang pura-pura berada dalam jalur kebenaran tetapi
justru merusak perkembangan anak baik secara pelan-pelan maupun frontal.
Sebenarnya, secara kodrati semua
manusia berada dalam lingkungan kesadaran atas sebuah kebenaran kehidupan
sehingga melahirkan ketulusan dan keikhlasan. Begitu pula guru, sebagai seorang
manusia secara alamiah mempunyai aliran roh kebenaran yang mampu diwujudkan
dalam situasi ketulusan dan keikhlasan. Namun, tidak semua guru menyadari akan
kekayaan dirinya atas roh kebenaran karena tertutup oleh kemalasan, egoisitas, berpikir
pendek, jalan pintas, tidak mau susah, dan cepat puas. Secara realitas justru
jumlah guru yang lupa akan roh kebenarannya lebih banyak daripada yang
mempunyai kebenaran sejati. Akibat sistem pendidikan yang belum menyentuh roh
kebenaran pendidikan, budaya jalan pintas masyarakat, dan tuntutan ekonomis.
Saat ini, guru berprestasi hanya
diukur melalui kuantitas portofolio guru dan hasil ucapan guru ketika di depan
dewan jurinya saat lomba berlangsung. Tidak pernah guru berprestasi tersebut
diukur secara mendalam tentang kepemimpinan, kepribadian, ketulusan, dan
keikhlasan kepada murid maupun masyarakat sekitarnya. Lihat saja, sekarang guru
sudah tidak dapat digugu dan ditiru murid-muridnya apalagi oleh masyarakatnya.
Guru hanyalah sebagai sebuah instrumen yang melengkapi sebuah mesin untuk
memproduksi hasil berupa angka-angka. Bahkan, secara individu tidak lagi
didapati jiwa guru yang penuh dengan roh kebenaran sehingga banyak guru yang
tidak yakin bahwa dirinya benar-benar seorang guru.
Semua orang sebenarnya seorang
guru manakala mampu mengubah generasi muda dari belum tahu menjadi tahu, dari
belum mengerti menjadi mengerti, dari belum paham menjadi paham, dari belum
bisa menjadi bisa, dan dari brutal menjadi jiwa yang halus. Hakikatnya guru
adalah bagian dari hierarki moral. Melalui mereka atau lebih tepatnya melalui
kebijaksanaan mereka, rakyat dituntun agar tetap berada di jalan yang benar.
Mulder menyebutkan bahwa guru adalah orang yang memiliki wahyu untuk membagi
pewahyuan, membagi kebenaran kepada murid sehingga murid tersebut mempunyai
kebijaksanaan (2007:189).
Guru berprestasi bukanlah sebatas
sebuah instrumen bagi sebuah perjalanan program pendidikan, namun merupakan roh
kehidupan agar menajadi kehidupan yang lebih baik. Untuk mencapai guru yang
benar-benar berprestasi luar dalam perlu waktu dan perubahan budaya serta
paradigma berpikir dari semua elemen masyarakat. Memang tampaknya sangat susah
mewujudkan guru berprestasi yang berdasarkan roh kebenaran, tetapi kalau
didekati dengan kebenaran dari berbagai pihak akan menjadi sebuah gambaran
nyata.
Berlanjut ke Bagian Tiga......
Berlanjut ke Bagian Tiga......
0 comments:
Post a Comment
Terima kasih Sobat Telah Berkenan Meluangkan Waktu Mengomentari dan Saya akan segera komen balik Anda. No. Porn No. Spam.