Friday, May 4, 2012

Memburu Roh Guru Berprestasi (Bagian 1 dari 2 Tulisan)

Di tengah terbukanya arus globalisasi dan informasi, hingga menjadi ''marak"nya peserta didik kita dalam mengidolakan para artis, sampai2 mengabaikan konsentrasi belajarnya yg lebih pokok.  Dari tahun ke tahun kualitas peserta didik semakin turun baik dari segi kualitas maupun identitasya sbg pelajar. Berbagai diskursus tentang dunia pendidikan pun banyak sudah digelar, tetapi perubahan karakter siswa maupun pendidiknya tidak ada perbaikan yang signifikan. Baik juga untuk kita urun rembug mendiskusikan tentang dunia pendidikan dinegeri kita ini agar lebih baik lagi. Yang menjadi pertanyaan dimanakan letak kesalahannya, sistem pendidikankah, murid atau guru sbg pendidik ?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, tentu tidak lepas dari sejauhmana seorang guru dapat memahami perannya sebagai seorang guru agar dikatakan menjadi guru yang  berhasil atau berprestasi? baiknya kita telaah narasi di bawah ini.

Perempuan, guru, Bu Mus, dengan asyiknya berbincang dengan para siswa yang hanya berjumlah 12 anak, meskipun gedung mau ambruk, lantai kusam, dan dinding bolong-bolong. Keasyikan seorang ibu guru yang berbayar rendah itu berjalan mulus karena sesuai dengan titik sentuh murid-muridnya. Pada akhirnya keduabelas murid itu melangkah untuk menjalani perkembangan diri sesuai dengan karakteristik masing-masing. Ketika besar, anak-anak itu menjadi orang. Apakah Bu Mus yang telah membingkai keduabelas anak itu disebut guru berprestasi?

Kemudian, Pak Fredy seorang guru yang energis, sering ikut pelatihan, akrab dengan internet, dan dikenal pimpinan, selalu memenangi beberapa perlombaan untuk guru. Murid-muridnya senang akan kessuksesan Pak Fredy. Namun, dari 40 murid, hanya lima murid yang kelak mampu menemukan jati dirinya, sedangkan yang lainnya sampai tua masih mencari-cari jati diri. Hal itu terjadi karena Pak Fredy lebih mengutamakan kemajuan anak-anak tertentu asalkan materi pembelajaran dapat terlaksanakan sesuai kurikulum. Apakah Pak Fredy dapat disebut guru berprestasi?

Lain lagi dengan Pak Toyo, tidak pernah kenal internet, buta dengan lomba, dan penampilan biasa-biasa saja, namun dia mengenali muridnya satu demi satu sehingga mampu menentukan menu pembelajaran yang sesuai dengan masing-masing anak. Pak Toyo selalu datang ke sekolah tepat waktu, menyapa anak, dan melihat materi yang akan diajarkan. Kebiasaaan itu menjadi warna sehari-hari Pak Toyo. Murid-muridnya mampu menembus jati diri masing-masing sehingga berkembang sampai pada tingkat pendidikan yang tertinggi dan mendulang pekerjaan sesuai dengan karakternya. Apakah Pak Toyo disebut guru berprestasi?

Sebenarnya, kita sangat susah menentukan apakah guru itu berprestasi atau bukan sebelum mengetahui apa yang dimaksud dengan berprestasi. Kalau guru prestasi diukur melalui keberhasilan anak menemukan jati dirinya, Ibu Mus dan Pak Toyolah yang disebut berprestasi. Namun, jika berprestasi dimaknai sebagai sering menang lomba, jago internet, dan dekat dengan pimpinan, Pak Fredylah yang jadi guru berprestasi. Kalau kedua orang itu dikatakan sebagi guru yang berprestasi, guru lain yang jumlahnya mungkin ribuan bahkan jutaan di Indonesia yang tidak akan seperti kedua guru dapat dikatakan tidak berprestasi. Artinya, saya dan pembaca yang lain pernah dan bahkan selalu diajar oleh guru yang tidak berprestasi.

Bagian II

Kata berprestasi mengarah pada keunggulan, keberhasilan, dan kepuncakan sesuatu. Kalau memang demikian artinya, sangat susah untuk menentukan apakah seorang guru itu berprestasi atau bukan. Prestasi sebenarnya merupakan perwujudan makna kesadaran penuh seseorang. Seseorang mecuci piring lalu piring itu bersih bukan sebuah prestasi, tetapi seorang mencuci piring mencoba untuk lebih sadar dalam mencuci piring, lebih menyadari gerakan tangannya dan menyadari perbuatannya demi kesehatan orang lain justru itulah yang lebih dapat dikatakan berprestasi. Begitu pula guru yang mengajar lalu nilai anak itu tinggi bukanlah sebuah prestasi. Namun, guru yang mengajar sehingga nilai anak itu tinggi kemudian merasakan kesadaran penuh proses mengajarnya, sadar akan perubahan yang terjadi dalam diri muridnya, dan sadar bahwa nilai tinggi itu memberikan motivasi bagi anak untuk berjuang lagi dapat dikatakan sebuah prestasi.

Oleh karena itu, siapapun guru itu perlu untuk mencoba mengambil peran aktif dalam membangkitkan kesadaran dirinya. Pada akhirnya, kesadaran sebagai seorang guru menjadi dasar dari segalanya, termasuk semua tindakan, semua pikiran, dan semua perasaannya. Seorang master dari Tibet (dalam Zen Meditation, 2004:110), berkata bahwa menggabungkan kesadaran dan tindakan seperti mencampur minyak dengan air, seperti mencoba keluar dari kulit kita sendiri. Oleh karena itu, guru berprestasi tidak perlu mencampurkan antara kesadaran tindakan, pikiran, dan perasaan namun cukup menyinergikan ketiga aspek itu. Guru yang mempunyai kesadaran penuh dapat dikatakan telah masuk pada wilayah kebenaran sebuah pembelajaran. Jadi, guru berprestasi adalah mereka yang berada dalam sebuah kebenaran.

Kebenaran tentang hubungan dengan murid, kebenaran dalam penggunaan media, kebenaran memilih materi, kebenaran memainkan metode, kebenaran sebagai seorang guru, dan kebenaran tentang jembatan sebuah kehidupan merupakan dasar yang harus dimiliki oleh seorang guru. Ibu Atik, yang sadar bahwa dalam pemahaman sebuah konsep ilmu, anak memerlukan sarana untuk masuk dalam titik sentuhnya. Ibu Atik dapat dikatakan telah mempunyai pemahaman pada sebuah kebenaran media. Pak Giran, yang sadar bahwa kedekatannya dengan murid menumbuhkan kekuatan cinta dapat dikatakan sebagai seseorang yang menjalankan kebenaran berhubungan dengan muridnya. Pak Mukhson, yang sadar tidak semua materi cocok dengan muridnya kecuali materi yang telah diseleksi dapat dikatakan sebuah telah memahami kebenaran dalam pemilihan materi. Begitu pula seterusnya, guru membangun kebenaran sejati untuk masuk dalam ruang pendidikan yang sebenarnya.

Dari uraian di atas, dapat dikatakan berprestasi merupakan wujud dari sebuah pencapaian kebenaran. Guru berprestasi adalah guru yang berada dalam roh kebenaran sejati yang sadar akan citra diri berdasarkan ketulusan dan keikhkasan. Sebaliknya, guru yang tidak berprestasi adalah guru yang pura-pura berada dalam jalur kebenaran tetapi justru merusak perkembangan anak baik secara pelan-pelan maupun frontal.

Sebenarnya, secara kodrati semua manusia berada dalam lingkungan kesadaran atas sebuah kebenaran kehidupan sehingga melahirkan ketulusan dan keikhlasan. Begitu pula guru, sebagai seorang manusia secara alamiah mempunyai aliran roh kebenaran yang mampu diwujudkan dalam situasi ketulusan dan keikhlasan. Namun, tidak semua guru menyadari akan kekayaan dirinya atas roh kebenaran karena tertutup oleh kemalasan, egoisitas, berpikir pendek, jalan pintas, tidak mau susah, dan cepat puas. Secara realitas justru jumlah guru yang lupa akan roh kebenarannya lebih banyak daripada yang mempunyai kebenaran sejati. Akibat sistem pendidikan yang belum menyentuh roh kebenaran pendidikan, budaya jalan pintas masyarakat, dan tuntutan ekonomis.

Saat ini, guru berprestasi hanya diukur melalui kuantitas portofolio guru dan hasil ucapan guru ketika di depan dewan jurinya saat lomba berlangsung. Tidak pernah guru berprestasi tersebut diukur secara mendalam tentang kepemimpinan, kepribadian, ketulusan, dan keikhlasan kepada murid maupun masyarakat sekitarnya. Lihat saja, sekarang guru sudah tidak dapat digugu dan ditiru murid-muridnya apalagi oleh masyarakatnya. Guru hanyalah sebagai sebuah instrumen yang melengkapi sebuah mesin untuk memproduksi hasil berupa angka-angka. Bahkan, secara individu tidak lagi didapati jiwa guru yang penuh dengan roh kebenaran sehingga banyak guru yang tidak yakin bahwa dirinya benar-benar seorang guru.

Semua orang sebenarnya seorang guru manakala mampu mengubah generasi muda dari belum tahu menjadi tahu, dari belum mengerti menjadi mengerti, dari belum paham menjadi paham, dari belum bisa menjadi bisa, dan dari brutal menjadi jiwa yang halus. Hakikatnya guru adalah bagian dari hierarki moral. Melalui mereka atau lebih tepatnya melalui kebijaksanaan mereka, rakyat dituntun agar tetap berada di jalan yang benar. Mulder menyebutkan bahwa guru adalah orang yang memiliki wahyu untuk membagi pewahyuan, membagi kebenaran kepada murid sehingga murid tersebut mempunyai kebijaksanaan (2007:189).

Guru berprestasi bukanlah sebatas sebuah instrumen bagi sebuah perjalanan program pendidikan, namun merupakan roh kehidupan agar menajadi kehidupan yang lebih baik. Untuk mencapai guru yang benar-benar berprestasi luar dalam perlu waktu dan perubahan budaya serta paradigma berpikir dari semua elemen masyarakat. Memang tampaknya sangat susah mewujudkan guru berprestasi yang berdasarkan roh kebenaran, tetapi kalau didekati dengan kebenaran dari berbagai pihak akan menjadi sebuah gambaran nyata.

Berlanjut ke Bagian Tiga......



0 comments:

Post a Comment

Terima kasih Sobat Telah Berkenan Meluangkan Waktu Mengomentari dan Saya akan segera komen balik Anda. No. Porn No. Spam.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...