Ada banyak pandangan makna keberagaman (pluralitas) dari berbagai macam agama yang ada yang ditujukan untuk mempersamakan persepsi makna agama-agama para penganutnya agar terwujud rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain, hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik yang kini disebut sebagai Pluralisme. Lihat juga pandangan Islam tentang pluralitas di Mendobrak Tuhan dengan Doktrin Agama.
Pluralitas itu sendiri merupakan bagian dari kajian teologi agama dalam ilmu teologi dimana fokus studinya adalah bagaimana umat Kristen memandang dan menilai agama-agama lain, serta bagaimana hubungan yang positif antar-agama dimungkinkan melalui teologi yang dikonstruksi.
Salah satu yang menjadi pionir dalam teologi ini adalah teolog dari inggris yang bernama Alan Race.
Salah satu yang menjadi pionir dalam teologi ini adalah teolog dari inggris yang bernama Alan Race.
Sahabat blogger.... Perbincangan keberagaman (pluralitas) nampaknya tidak akan selesai dibahas baik dalam wacana maupun dalam fakta, hingga kini masih dalam diskursus panjang tak bertepi. Ada baiknya mari kita saling berusaha untuk tidak berhenti memahami dengan terus mencari dan membaca tak lain untuk menambah khazanah wawasan pengetahuan kita tentunya.
Berikut ini merupakan pendekatan pemahaman seputar Pluralitas Agama dan Pluralisme Agama yang akan dibahas dalam bagian satu dari dua bagian postingan.
Pendahuluan
Pikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama masuk ke Indonesia dan beberapa negara Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham dan gerakan “baru” yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan mengejutkan. Ummat Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya sendiri. Padahal ummat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup ditengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai realitas sosial. Piagam Madinah dengan jelas sekali mengakomodir pluralitas agama saat itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Apa sebenarnya dibalik gerakan ini?
Sebenarnya paham inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dimasa lalu dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajmukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja.
Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda. Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan yang kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi.
Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum dÊnukum wa liya dÊn). Tapi solusi yang ditawarkan paham pluralisme agama lebh cenderung menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Jadi menganggap pluralisme agama sebagai sunnatullah adalah klaim yang berlebihan dan tidak benar. Dalam paham pluralisme agama yang berkembang di Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda: yaitu: 1) Paham teologi global (global theology) dan 2) Paham kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions).
Kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik. Munculnya kedua aliran diatas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat. Tapi yang satu justru menyalahkan yang lain.
Aliran Global Theology
Bagi aliran pertama yang diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama. Tentang hubungan antara agama dan globalisasi bisa dibaca dari Religion and Globalization, karya Peter Bayer, Islam, Globalization and Postmodernity, karya Akbar S Ahmed dan H. Donnan, The Changing Face of Religion, karya James A Beckford dan Thomas Luckmann atau Religion and Global Order, oleh Ronald Robertson dan WR. Garet. Bagi aliran pertama agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi. Oleh sebab itu menurut Walters globalisasi dan kapitalisme digunakan untuk mengurangi atau bahkan menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuasaan lainnya. (lihat Walters, Globalization (London:Routledge, 1995, hl 36).
Cara yang ditempuh dalam program globalisasi ini adalah dengan mendorong semua pihak agar menjadi terbuka dan bebas menerima berbagai ideologi dan nilai-nilai sosial yang “dianggap” universal. Maraknya seminar tentang global ethic, religious dialogue, inter-faith dialogue yang diadakan oleh World Council of Religions dan lembaga lain merupakan bagian dari program globalisasi. Organisasi non pemerintah (NGO) di dunia ketiga yang bergerak dalam bidang ini pun mendapat kucuran dana dengan mudah. Bukti bahwa Barat berkepentingan dengan paham ini dapat dilihat dari tema yang diangkat jurnal The Muslim World, rintisan tokoh missionaries Zwemmer volume 94 No.3, tahun 2004. Jurnal missionaris itu menurunkan tema pluralisme agama dengan fokus dialog Islam Kristen.
Jika globalisasi bukan merupakan program sudah tentu framework Barat tidak akan dominan. Tapi kenyataannya standar universal yang harus diterima semua agama dan semua bangsa dan peradaban itu berasal dari kebudayaan Barat. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, feminisme / gender, liberalisme dan sekularisme adalah ideologi dan nilai-nilai asli Barat. Buktinya nilai moral dan etika yang berkaitan dengan masalah seks yang diterima semua agama, misalnya, tidak dijadikan nilai universal.
Program globalisasi yang memarginalkan agama adalah murni pengalaman Barat. Di Barat pergumulan pemikiran untuk menyeret agama agar akomodatif terhadap tuntutan sosial lebih dominan ketimbang upaya menciptakan masyarakat religius. Dalam sejarahnya Barat memang berhadapan dengan doktrin agama Kristen yang ekslusif, dengan doktrinnya extra exxlesiam nulla salus (diluar gereja tidak ada keselamatan) dan diluar Kristen tidak ada kesalamatan. Tapi karena tuntutan social sangat kuat, maka doktrin itupun bergeser menjadi penerimaan semua yang menyembah tuhan sebagai termasuk kedalam agama Kristen (inklusif). Doktrin inkusif inipun akhirnya bergeser lagi menjadi pluralisme.
Paham pluralisme agama dalam merespon program globalisasi ini diusung oleh seorang penganut Protestan bernama John Hick dengan teori teologi globalnya (global theology). Sejalan dengan John Hick adalah Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill Islamic Studies. Ia mengajukan teori teologi dunianya (world theology). Keduanya membawa paham yang sama satu teologi untuk semua agama diseluruh dunia.
Solusi yang ditawarkan aliran ini berdasarkan motif sosiologis dengan konsep dunia yang tanpa batas geografis kultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi identitas agama-agama apalagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian akan melebur menjadi satu teologi yang disebut teologi global (global theology).
Tokoh-tokoh lain dapat dilihat dari karya Hick berjudul Problems of Religious Pluralism. Pada halaman dedikasi buku ini John Hick menulis yang terjemahannya begini: “Kepada kawan-kawan yang merupakan nabi-nabi pluralisme agama dalam berbagai tradisi mereka: Masau Abe dalam agama Buddha, Hasan Askari dalam Islam, Ramchandra Gandhi dalam agama Hindu, Kushdeva Singh dalam agama Sikh, Wilfred Cantwell Smith dalam agama Kristen dan Leo Trepp dalam agama Yahudi.
Sebenarnya paham inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan pengalaman manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dimasa lalu dan juga ajaran Islam. Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajmukan (pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja.
Parahnya, pluralisme agama malah dianggap realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda. Yang pertama (pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan yang kedua (pluralisme agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi, teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting globalisasi.
Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum dÊnukum wa liya dÊn). Tapi solusi yang ditawarkan paham pluralisme agama lebh cenderung menghilangkan perbedaan dan identitas agama-agama yang ada. Jadi menganggap pluralisme agama sebagai sunnatullah adalah klaim yang berlebihan dan tidak benar. Dalam paham pluralisme agama yang berkembang di Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang berbeda: yaitu: 1) Paham teologi global (global theology) dan 2) Paham kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of Religions).
Kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik. Munculnya kedua aliran diatas juga disebabkan oleh dua motif yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian masyarakat Barat. Tapi yang satu justru menyalahkan yang lain.
Aliran Global Theology
Bagi aliran pertama yang diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah karena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi ini maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama. Tentang hubungan antara agama dan globalisasi bisa dibaca dari Religion and Globalization, karya Peter Bayer, Islam, Globalization and Postmodernity, karya Akbar S Ahmed dan H. Donnan, The Changing Face of Religion, karya James A Beckford dan Thomas Luckmann atau Religion and Global Order, oleh Ronald Robertson dan WR. Garet. Bagi aliran pertama agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi. Oleh sebab itu menurut Walters globalisasi dan kapitalisme digunakan untuk mengurangi atau bahkan menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuasaan lainnya. (lihat Walters, Globalization (London:Routledge, 1995, hl 36).
Cara yang ditempuh dalam program globalisasi ini adalah dengan mendorong semua pihak agar menjadi terbuka dan bebas menerima berbagai ideologi dan nilai-nilai sosial yang “dianggap” universal. Maraknya seminar tentang global ethic, religious dialogue, inter-faith dialogue yang diadakan oleh World Council of Religions dan lembaga lain merupakan bagian dari program globalisasi. Organisasi non pemerintah (NGO) di dunia ketiga yang bergerak dalam bidang ini pun mendapat kucuran dana dengan mudah. Bukti bahwa Barat berkepentingan dengan paham ini dapat dilihat dari tema yang diangkat jurnal The Muslim World, rintisan tokoh missionaries Zwemmer volume 94 No.3, tahun 2004. Jurnal missionaris itu menurunkan tema pluralisme agama dengan fokus dialog Islam Kristen.
Jika globalisasi bukan merupakan program sudah tentu framework Barat tidak akan dominan. Tapi kenyataannya standar universal yang harus diterima semua agama dan semua bangsa dan peradaban itu berasal dari kebudayaan Barat. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, feminisme / gender, liberalisme dan sekularisme adalah ideologi dan nilai-nilai asli Barat. Buktinya nilai moral dan etika yang berkaitan dengan masalah seks yang diterima semua agama, misalnya, tidak dijadikan nilai universal.
Program globalisasi yang memarginalkan agama adalah murni pengalaman Barat. Di Barat pergumulan pemikiran untuk menyeret agama agar akomodatif terhadap tuntutan sosial lebih dominan ketimbang upaya menciptakan masyarakat religius. Dalam sejarahnya Barat memang berhadapan dengan doktrin agama Kristen yang ekslusif, dengan doktrinnya extra exxlesiam nulla salus (diluar gereja tidak ada keselamatan) dan diluar Kristen tidak ada kesalamatan. Tapi karena tuntutan social sangat kuat, maka doktrin itupun bergeser menjadi penerimaan semua yang menyembah tuhan sebagai termasuk kedalam agama Kristen (inklusif). Doktrin inkusif inipun akhirnya bergeser lagi menjadi pluralisme.
Paham pluralisme agama dalam merespon program globalisasi ini diusung oleh seorang penganut Protestan bernama John Hick dengan teori teologi globalnya (global theology). Sejalan dengan John Hick adalah Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill Islamic Studies. Ia mengajukan teori teologi dunianya (world theology). Keduanya membawa paham yang sama satu teologi untuk semua agama diseluruh dunia.
Solusi yang ditawarkan aliran ini berdasarkan motif sosiologis dengan konsep dunia yang tanpa batas geografis kultural, ideologis, teologis, kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural, kepercayaan dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi identitas agama-agama apalagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian akan melebur menjadi satu teologi yang disebut teologi global (global theology).
Tokoh-tokoh lain dapat dilihat dari karya Hick berjudul Problems of Religious Pluralism. Pada halaman dedikasi buku ini John Hick menulis yang terjemahannya begini: “Kepada kawan-kawan yang merupakan nabi-nabi pluralisme agama dalam berbagai tradisi mereka: Masau Abe dalam agama Buddha, Hasan Askari dalam Islam, Ramchandra Gandhi dalam agama Hindu, Kushdeva Singh dalam agama Sikh, Wilfred Cantwell Smith dalam agama Kristen dan Leo Trepp dalam agama Yahudi.
[bersambung.. ]
8 comments:
wih ...petramax nih...
iya gan prinsip ane mah " agamamu agamamu, agamaku agamaku" kira kira begitu kan gan hehehe
@taufik
yah...kira2 begitulah, damai aja qt mah bro
innaddina i'ndallahil islam :)
all : thanks atas komennya
Waduh, materinya berat banget bro. Ora mudeng aq, tuing..tuing....
thnks infonya sob..
informasi bermamfaat
thanks atas sharenya
Post a Comment
Terima kasih Sobat Telah Berkenan Meluangkan Waktu Mengomentari dan Saya akan segera komen balik Anda. No. Porn No. Spam.