Sunday, March 25, 2012

Liberalisasi Migas dalang Kenaikan BBM

Berawal dari obrolan tukang becak, ibu-ibu di pasar sayuran sampai tukang ojek tentang isu kenaikan harga-harga bahan pokok karena ulah naiknya harga BBM. "...wah kalo tau gini, mending dulu gak usah ada reformasi yah, enakan juga jamannya pak Harto dulu". Kira-kira itulah kesan wong cilik menanggapi harga2 yang terus meroket di era Pemerintah SBY kini. 

Tentu kita maklumi mereka mengatakan demikian, karena rencana Pemerintah menaikkan harga BBM membuat masyarakat wong cilik bikin tambah resah dan merasa tambah berat bebannya sebagai kepala keluarga, dan juga bisa berakibat kepada meningkatnya kriminalitas, korupsi di segala bidang. Ujung-ujungnya wong cilik yang kena imbasnya. Tapi masyarakat/rakyat perlu tau juga tentang sejarah kenapa selalu ada kenaikan BBM setiap pergantian Pemerintahan, padahal janji2 waktu kampanye ingin meningkatkan kesejahteraan rakyat meningkat. Justru yang terjadi meningkatkan kemelaratan rakyat!

Bukan tanpa sejarah, kenapa pasca reformasi sering kita dengar istilah kenaikan BBM selalu menjadi 'momok' yang menakutkan terutama masyarakat wong cilik. 

Sebetulnya ini bermula sejak awal jaman orde baru masa Pemerintahan Pak Harto kira-kira tahun 70-an. Dimulailah Liberalisasi ekonomi dan sektor tambang terjadi di Indonesia. Dimulai ketika investor asing berdatangan untuk  mengeksplorasi sumber daya alam (SDA) Indonesia dibantu agen-agen ekonomi Amerika yang biasa disebut "mafia berkeley". Para investor dalam mengamankan investasinya di Indonesia, investor asing mengajukan beberapa persyaratan. Di antaranya regulasi beberapa kebijakan yang dilegalisasikan dalam Undang-undang (UU).

Akhirnya segala produk UU menjadi tidak pro-rakyat. Semua disesuaikan permintaan dan pesanan asing, serta  asal menguntungkan pemerintah. Tapi, tidak peduli apakah kebijakan tersebut merugikan rakyatnya, hingga berbuntut bentrokan-bentrokan sosial di masyarakat.  Undang-undang tersebut contohnya UU SDA, UU Migas, UU Penanaman Modal Asing, dan lainnya.

Pembatasan BBM bersubsidi sendiri merupakan buah kebijakan dari UU Migas No. 22 tahun 2001. UU tersebut sebagai landasan hukum pembaharuan dan penataan kembali usaha migas. Mengingat UU Prp. No.44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan UU No.8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi tidak relevan.

Jika demikian, UU Migas No. 22 tahun 2001 adalah pangkal liberalisasi migas. Kebijakan itu dikuatkan oleh Perpres No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasioanl Pasal 3c. Selanjutnya kebijakan tersebut diimplementasikan dalam blue print Pengembangan Energi Nasional 2006-2005 Kementrian ESDM.

Pasal-pasal di atas menyebabkan negara hanya berperan sebagai regulator atau pembuat undang-undang. Investor asing yang dulu hanya di hulu (eksplorasi) kini bisa di hilir dengan membuka SPBU asing. Keberadaan negara sebagai pemilik dan pengelolah migas pun dikebiri.

UU Migas juga menjadikan seluruh kegiatan usaha migas baik hulu maupun hilir semata berdasarkan pada mekanisme pasar. Selain pasal di atas ternyata pasal-pasal lain akan menjadikan harga BBM sama dengan harga pasar dan sangat menguntungkan asing. Inilah bukti diadopsinya demokrasi liberal dan ekonomi kapitalisme.

UU Migas No. 22 tahun 2001 bukanlah kebijakan murni pemerintah tetapi ada tekanan asing yang  hadir di dalamnya. Dimana pemerintah ber“kongsi” dengan IMF dan PBB. Hal ini semakin tampak misalkan dari pengakuan John Perkins  dalam bukunya The Confession of Economic Hitman (Pengakuan Tukang Pukul Ekonomi) yang ditugasi USAID untuk menuntut Indonesia meregulasi privatisasi bagi asing untuk menguasai minyak. Padahal, Indonesia sebenarnya mampu untuk mengelola migasnya secara mandiri, jika pemerintah serius mengatur urusan rakyatnya.

Atau, pengakuan seorang aktivis Anti Perang Naomi Klein, dalam bukunya The Shock Doctrine The Rise of Disaster Kapitalism yang menceritakan bagaimana kapitalisme memanfaatkan kondisi psikologis suatu negara yang sedang panik, akibat krisis, bencana alam, ataupun pergantian kekuasaan yang genting untuk mendesak pemerintah tersebut menerima resep-resep ekonomi dari lembaga-lembaga donor dunia.

Sederhananya, ketika suatu negara dalam keadaan panik dan terkejut oleh suatu masalah besar, secara psikologis negara tersebut akan tergesa-gesa menerima bantuan yang diajukan tanpa terlalu mengambil pusing syarat-syarat yang diberikan.

Indonesia sepertinya mengalami pula hal tersebut, ketika reformasi bergulir pemerintah dengan mudah menerima resep ekonomi Washingthon Consensus yang meliberalisasi perekonomian kita.

sumber : arrahmah.com

0 comments:

Post a Comment

Terima kasih Sobat Telah Berkenan Meluangkan Waktu Mengomentari dan Saya akan segera komen balik Anda. No. Porn No. Spam.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...