Judul artikel di atas kita akan teringat gambaran betapa bejet dan kejinya perbuatan dan nalar manusia melebihi sifat binatang, kenapa tidak? Zionis Israel dengan sangat bangganya menghabisi manusia tidak berdosa di Palestina, dan yang menjadi korban adalah anak2 dan masyarkat sipil.
Artikel ini ditulis penulisnya tahun 2009 di sebuah majalah terkemuka*), walau demikian kiranya masih relevan jika simak hanya sebagai background sejarah pertikaian Israel vs Palestina yang hingga kini masih berlangsung. Saya memposting artikel disini tidak berarti saya setuju atau tidak setuju tentang pendapat yang ditulis oleh Ahmad Sahal tetapi hanya share informasi khususnya pengunjung blog ini.
ISRAEL ANTARA SHAKASPEARE DAN CHEKOV*
Oleh: Akhmad Sahal
Konflik antara Israel dan Palestina, kata sastrawan Israel
Amos Oz, adalah tragedi setragis-tragisnya. Karena yang menyulut
konflik tersebut adalah benturan dua klaim yang sama-sama tidak mau
mengalah. Lantas bagaimana mungkin tragedi semacam ini bisa disudahi?
Amos Oz menyebutkan dua pilihan cara penyelesaian: model Shakespeare
atau model Chekov.
Pada model Shakespeare, konflik berakhir ketika semua pihak
yang terlibat saling menghabisi satu sama lain, sehingga pada akhir
cerita semua mati terbunuh. Lihatlah misalnya babak akhir lakon Hamlet.
Duel antara Hamlet dan Laertes tidak hanya berujung pada kematian
keduanya, melainkan juga menyeret ibunda Hamlet, Gertrude, dan raja
Claudius ke liang lahat.
Sebaliknya, pada model Chekov, konflik diselesaikan melalui
resolusi yang sama sekali jauh dari memuaskan siapapun, mengecewakan,
dan bahkan mungkin menyisakan luka. Namun, masing-masing pihak tetap
hidup.
Oz sendiri menaruh harapan agar negaranya memilih model
Chekov dan bukan Shakespeare dalam menangani perseturuannya dengan
Palestina. Artinya, jalan perundingan, bukan jalan militer. Sebab
menurutnya, sejelek-jeleknya kompromi tetap lebih baik daripada perang
habis-habisan a la duel Hamlet.
Harapan yang masuk akal, mengingat Amos Oz adalah pendiri gerakan Shalom Achshav
(Damai Sekarang Juga) yang gencar menentang kebijakan pemerintahnya
menyangkut West Bank dan Gaza. Namun harapan novelis Israel itu
tampaknya hanya menjadi suara sayup yang melemah, ketika politik Israel
semakin diwarnai oleh menguatnya kelompok sayap kanan, yang dibarengi
dengan merosotnya kekuatan gerakan kiri.
Harap diingat, dikotomi "kanan-kiri" dalam nomenklatur
politik Israel lebih banyak terkait dengan isu keamanan nasional
ketimbang ekonomi. “Kanan” di sini bukan berarti liberalisme, melainkan
sikap hawkish yang mengandalkan jalan militer dan anti
kompromi menyangkut tanah pendudukan. Sedangkan “kiri” tidak mengacu
pada sosialisme, tapi pada sikap dovish yang mengutamakan
negosiasi,dan juga kesediaan melepas Gaza dan Tepi Barat kepada rakyat
Palestina demi tercapainya solusi damai antara Israel dan Palestina (land for peace).
Gejala ini secara nyata tercermin dalam pemilu Israel
baru-baru ini (2009). Fakta bahwa tokoh seperti Netanyahu atau
Avigdair Lierbeman semakin meroket popularitasnya menujukkan betapa
sikap hawkish sedang laku keras di Israel
Netanyahu yang kini memimipin partai Likud jelas-jelas
menyatakan hendak mempertahankan wilayah pendudukan. Sedangkan
Lieberman, pemimpin partai baru Yisra’eli Beininu, merupakan
politisi ultranasionalis yang dikenal rasis terhadap warga negara
Israel keturunan Arab, yang jumlahnya hampir mencapai 20 persen dari
total populasi negeri itu. Ia bahkan menuduh mereka sebagai musuh dalam
selimut, yang lebih loyal terhadap Palestina dibanding kepada
negerinya sendiri.
Pada tingkat tertentu, penguatan kubu hawkish di
Israel ini dipicu oleh supremasi Hamas di Gaza yang bertekad
menghancurkan Israel. Begitu juga sebaliknya. Naiknya pamor Hamas tak
bisa dilepaskan dari menguatnya kelompok kanan di Israel, yang terdiri
dari para pemilih dan simpatisan partai Likud, kaum Yahudi
ultra-Orthodox, dan mayoritas imigran dari Rusia pasca tumbangnya
Soviet.
Kita sering mendengar alasan membela diri sebagai faktor
yang mendorong Israel menyerang Gaza. Tapi tunggu dulu. Hamas pun bisa
mengklaim hal yang sama, misalnya dengan berdalih serangan roketnya ke
Israel juga demi membela diri dari blokade ekonomi dan sosial yang
diberlakukan Israel atas Gaza. Dengan kata lain, yag sesungguhnya
terjadi adalah ini: kedua belah pihak mengalami militansinya
masing-masing.
Bagaimana kita memahami fenomena itu? Sejauh menyangkut
Israel, akar masalahnya sebenarnya sudah muncul jauh sebelum Hamas
lahir. Tepatnya setelah Israel berhasil meluluhlantakkan, dalam waktu
singkat, kekuatan bersenjata gabungan Mesir, Jordan, dan Syiria pada
peperangan tahun 1967, yang lazim dikenal sebagai “Perang Enam Hari.”
Sebelum tahun 1967, sikap Israel terhadap Arab secara umum
mengacu pada konsep “tembok besi” yang dirumuskan oleh Vladimir
Jabotinsky. Nama ini memang sering diasosiasikan dengan Zionisme
revisionis yang menjadi sumber inspirasi partai sayap kanan Likud. Tapi
esainya berjudul “Tembok Besi: Kita dan Arab” yang terbit pada 1920-an
menunjukkan bahwa pandangan Zionis kelahiran Odessa ini sejatinya
mengandung muatan yang tak bisa begitu saja dinisbatkan ke ideologi hawkish Partai Likud.
Apa itu strategi “tembok besi’? Menurut Jabotinsky, Israel
harus mengakui adanya pertautan alamiah antara bangsa Palestina dengan
tanah kelahiran mereka, “seperti halnya pertautan bangsa Aztecs pada
Mexico atau suku Sioux pada tanah rerumputan mereka.” Karena itu bisa
dimaklumi kalau mereka menentang berdirinya negara Yahudi di Palestina,
yang mereka anggap sebagai kolonisasi. Kata Jabotinsky, “seandainya
kita Arab, kita akan menentangnya juga.”
Dari situ ia kemudian menegaskan bahwa bangsa Arab tidak
akan dengan sukarela mengakui kehadiran negara Yahudi di Palestina.
Karena itu menurutnya, untuk merealisasikan proyek Zionisme, kaum
Yahudi mesti membangun kekuatan militer yang betul-betul kokoh laksana
tembok besi, sehingga setiap usaha bangsa Arab untuk menghancurkannya
akan berakhir dengan sia-sia
Jabotinsky meyakini kegagalan terus menerus yang diderita
bangsa Arab akan membuat mereka lambat laun menjadi kompromistis, dan
akhirnya menerima kehadiran Israel. Dengan kata lain, buat Jabotinsky,
kekuatan militer bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, melainkan sarana
pemaksa agar pihak Arab bersedia berunding dengan Israel.
Tapi setelah berhasil menduduki Gaza, Tepi Barat, dan
wilayah Arab lain menyusul kemenangannya pada perang 1967, Israel
seperti terpukau dengan kedigdayaannya sendiri. Strategi tembok besi
ala Jabotinsky lantas ditinggalkan. Israel tidak lagi menempatkan
kompromi sebagai tujuan akhir dari kebijakan politik mereka.
Sikap anti kompromi ini menjadi semakin mengeras dengan
adanya dukungan dari kelompok yang senantiasa bersinergi. Pertama
kelompok fundamentalis Yahudi yang tergabung dalam Gush Emunim, yang
meyakini Tepi Barat, Gaza dan Yerusalem sebagai anugerah Tuhan kepada
bangsa Yahudi di Israel, dan karena itu “haram” hukumnya dikembalikan
ke bangsa Arab. Kedua adalah partai Likud yang sejak awal getol
memperjuangkan gagasan tentang “Israel Raya” yang mencakup keseluruhan
wilayah Israel dan Palestina.
Sikap anti kompromi yang ditampilkan Israel inilah yang
terbukti selalu menjadi batu sandungan bagi setiap pembicaraan damai
dengan pihak Arab. Sampai sekarang.
Pada 2002, misalnya, Liga Arab dengan juru bicara Pangeran
Abdullah dari Arab Saudi menawarkan hubungan penuh dengan Israel
asalkan Israel mau kembali ke wilayahnya sebelum perang 1967. Tapi
dengan ketus Israel menolaknya. Bahkan Hamas juga pernah menawarkan
gencatan senjata 30-40 tahun dengan catatan Israel menarik diri dari
pendudukan. Israel lagi-lagi menampiknya.
Artinya apa? Kalau kita kembali kepada Amos Oz, Israel
menempuh jalan Chekov ketimbang Shakespeare bukan karena semata-mata
pengaruh faktor luar ( Hamas), melainkan terutama justru akibat dari
dinamika internalnya sendiri.
Ironisnya, Israel juga didera oleh rasa terkepung yang akut
sehingga senantiasa melihat sekelilingnya sebagai ancaman. Setidaknya
itu terlihat pada serangan mereka ke Gaza. Rasa terkepung ini muncul
karena Israel selalu melihat dirinya sebagai korban anti semitisme
berabad2 yang berpuncak pada Holocaust, dan pada saat yang sama punya
kekuatan militer yang tak tertandingi di Timur Tengah, plus dukungan
yang hampir total dari Amerika. Nah, kombinasi antara kekuatan yang tak
tepermanai yang dimiliki Israel plus persepsi diri sebagai korban pada
akhirnya menyebabkan Israel selalu merasa terancam. Ungkapan “Jika
yang anda punya hanya palu, dunia sekitar akan tampak seperti paku”
rasanya tepat sekali melukiskan tabiat Israel.
Apa yang terjadi pada Israel saat ini sungguh terasa
absurd, bahkan kalau hal itu dilihat dari perspektif zionisme. Ketika
Theodor Herzl, mencetuskan ide negara Yahudi pada akhir abad 19, bapak
Zionisme itu mendambakan agar dengan mempunyai Negara sendiri, bangsa
Yahudi, yang bisa hidup normal seperti bangsa-bangsa lain.” Menurut
Herzl, dua ribu tahun lamanya bangsa Yahudi hidup abnormal, yakni
terpencar dalam diaspora tanpa negara. Oleh karena itu mereka rentan
menjadi target serangan antisemitisme di Eropa . Berdirinya Negara
Israel oleh Herzl dimaksudkan agar bangsa Yahudi bisa keluar dari
abnormalitas tersebut. Harapannya adalah agar ancaman antisemitisme
lenyap.
Tapi setelah lebih enam dasawarsa berdiri, Israel mengidap sindrom
mentalitas terkepung. dan antisemitisme justru semakin meluas. Apakah
kehidupan semacam ini yang dibayangkan oleh Herzl sebagai "normal"
sebagaimana bangsa-bangsa lain?
Entahlah. Yang pasti, mentalitas terkepung semacam inilah yang
menyebabkan harapan Amos Oz terhadap negerinya tidak tercapai. Karena
terbukti Israel condong kepada model Shakespeare dan menjauhi model
Chekov.
(* kolom TEMPO, 16 Februari 2009, dengan sedikit revisi)